Kamis, 30 Mei 2013

Pertama : Puasa Sunnah
Jika kita baca kitab-kitab fiqih tentang puasa (shaum), istilah yang popular digunakan adalah shaumu at-tathawwu’ atau shaumu al-mandub. Dalam terminologi fiqih at-tathawwu’ adalah : “at-taqarrubu ilallahi ta’ala bima laisa bifardhin min al-‘ibadat” (pendekatan diri kepada Allah SWT dengan ibadah-ibadah yang bukan wajib). Lalu shaumu at-tathawwu’ berarti pendekatan diri kepada Allah SWT dengan berpuasa yang bukan wajib (lihat : Al-Mausu’atu al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 29 : 82).
Puasa sunnah memiliki nilai lebih (fadhilah) sebagaimana yang dijelaskan banyak Hadits Nabi saw, antara lain: “Inna fi al-jannati baban yuqalu lahu: Ar-Rayyan, yadkhulu minhu ash-sha’imuna yauma al-qiyamati, la yadkhulu minhu ahadun ghairuhum. Yuqalu : Aina ash-sha’imuna ? Fa yaqumuna la yadkhulu minhu ahadun ghairuhum, fa idza dakhalu ughliqa fa lam yadkhul minhu ahadun”  (Sesungguhnya di surga itu terdapat pintu yang bernama ar-Rayyan. Orang-orang yang berpuasa memasuki pintu itu pada hari kiamat nanti yang tidak seorang pun memasuki pintu itu selain mereka. Ditanyakan : Di mana orang-orang yang berpuasa ? Lalu mereka berdiri, tidak seorang pun selain mereka yang memasukinya. Apabila mereka telah masuk pintu ditutup, tidak memasukinya selain mereka) ( Jam’u al-Jawami’ awi al-Jami’u al-Kabir, as-Suyuthi, hlm. 7574).
Dalam Hadits lain : “Man shama yauman fi sabilillahi ba’adallahu wahahu ‘an an-nari sb’ina kharifan” (Barangsiapa yang berpuasa satu hari di jalan Allah, Allah akan menjauhkan wajahnya dari api neraka tujuh puluh tahun) ( Jam’u al-Jawami’ awi al-Jami’u al-Kabir, as-Suyuthi, hlm. 23275).
Puasa sunnah (tathawwu’) oleh para ulama fiqih terdapat perbedaan pengklasifikasiannya. Menurut kalangan Hanafiah diklasifikasikan : sunnah, mandub, dan nafal. Puasa sunnah : puasa ‘asyura’ (10 Muharram) dan tasu’a ( 9 Muharram). Puasa mandub : puasa tiga hari setiap  bulan, puasa Senin Kamis, puasa enam Syawwal, puasa Daud, dan puasa lain yang tidak terlarang. Sedang menurut kalangan Malikiah diklasifikasikan: Sunnah, mustahab dan nafilah. Puasa sunnah : puasa ‘asyura’ (10 Muharram). Puasa mustahab : puasa di bulan-bulan haram (dzulqa’idah, dzulhijjah, muharram, dan rajab), sya’ban, sepuluh pertama dzulhijjah, ‘arafah, enam hari syawwal, tiga hari setiap bulan, dan Senin Kamis. Puasa nafilah : setiap puasa tanpa waktu tertentu dan sebab yang bukan di waktu puasa wajib dan waktu terlarang. Menurut kalangan Syafi’iah dan Hanabillah, puasa tathawwu’ dan puasa sunnah merupakan satu kalsifikasi (lihat : Al-Mausu’atu al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 29 : 82).

Kedua : Puasa sunnah di Bulan Sya’ban
Menurut mayoritas ulama fiqih (jumhur fuqaha’) Hanafiah, Malikiah, dan Syafi’iah, disukai (mustahab) berpuasa sunnah di bulan Sya’ban mengingat riwayat A’isyah : “Fa ma ra’aitu Rasulallahi saw istakmala shiyama syahrin illa ramadhana wa ma ra’aitu aktsara shiyaman minhu fi sya’bana” (Aku tidak melihat Rasulullah saw berpuasa sebulan penuh melainkan puasa Ramadhan, dan aku tidak melihat beliau saw lebih banyak berpuasa dari pada bulan Sya’ban) (Shahih Bukhari, 3 : 38).
Di samping itu riwayat dari A’isyah itu juga menyebutkan bahwa Nabi saw berpuasa penuh di bulan Sya’ban. Sebagian ulama memakruhkan puasa setengan bulan terakhir bulan Sya’ban. Kalangan Syafi’iah menyatakan tidak sah berpuasa setengah bulan terakhir bulan Sya’ban karena terdapat Hadits : “Idza intashafa sya’banu fala tashumu” (Apabila telah memasuki pertengahan sya’ban janganlah berpuasa) (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqgu al-Islami wa Adillatuh, 3 : 27). Tetapi Imam Ahmad mengingkari hadits terakhir ini (lihat antara lain : Subulu as-Salam, 3 : 371).
Apabila kita telaah perbedaan pendapat para ulama tentang masalah sekitar puasa sunnah di bulan Sya’ban ini dapat dikompromikan : pertama : Nabi saw jelas tidak pernah banyak berpuasa sunnah selain di bulan Sya’ban. Kedua : dimakruhkan berpuasa sunnah sebulan penuh karena menyerupai puasa wajib, melainkan bagi orang yang sudah terbiasa melakukannya yang tidak akan menimbulkan kelemahan pada waktu melaksanakaan puasa Ramadhan. Ketiga : Apabila berpuasa sunnah di bulan Sya’ban sebaiknya tidak penuh di pertengahan akhir sehingga satu atau dua hari menjelang masuknya bulan Ramadhan menjadikan keraguan atau kesulitan menentukan awal Ramadhan. Dalam pemahaman inilah kalangan Syafi’iah tidak mengesahkan puasa sunnah di pertengahan akhir bulan Sya’ban itu. Tetapi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang kendala masalah ini tidak menjadi persoalan bagi kalangan yang menggunakan metode hisab hakiki dalam penentuan awal bulan.

Ketiga : Ibadah Khusus di Bulan Sya’ban
Tentang ibadah khusus, baik di bulan Sya’ban seluruhnya maupun pada nishfu Sy’aban (tanggal 15 Sya’ban), jika ibadah khusus itu yang dimaksudkan adalah ibadah yang secara khusus acara dan tata caranya disyariatkan sehingga tidak boleh selain yang seperti itu, sepanjang yang bapak ketahui belum diperoleh dalil yang jelas (sharih) dan tegas (qath’i) atau dalil yang shahih yang disepakati para ulama. Tetapi jika yang dimaksudkan adalah memperbanyak ibadah shalat sunnah yang termasuk klasifikasi mutlak (tanpa batasan waktu dan sebab), memperbanyak baca al-Qur’an termasuk surah Ya Sin atau surah apapun, berdzikir, bertahlil, bertahmid, bertasbih, bershalawat, bersedekah, dan lain-lain, yang diperintahkan oleh dalil-dalil yang umum tentu boleh saja.

Kesimpulan :
Puasa sunnah di bulan Sya’ban disyariatkan dan pelaksanaanya sesuai dengan kesanggupan masing-masing selama tidak menimbulkan madharat terutama yang dapat mengganggu ibadah-ibadah lain yang hukumnya wajib. Ibadah khusus di bulan Sya’ban termasuk di pertengahannya (tanggal 15) yang dikenal dengan Nishfu sya’ban sepanjang yang penulis ketahui belum ditemukan dalilnya secara jelas (sharih) dan tegas (qath’i) atau dalil yang shahih yang disepakati para ulama, yang mengatur secara khusus acara dan tata caranya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar